“Suatu hari orang akan mengingat, bahwa akulah yang melahirkan abad 20..”
Jack The Ripper.
Sang pembunuh itu bernama Jack The Ripper, dia bergentayangan di Whitechapel London akhir abad 19. Melakukan belasan pembunuhan yang memusingkan kepolisian, karena metodenya sangat saintifis. Pembunuhan begitu direncanakan dalam metode yang ketat bagai seorang professor memilihkan diktat. Korban-korban yang dipilihnya, bukan korban yang dirindukan banyak orang. Melainkan para pelacur, sundal, penganggu rumah tangga orang, pembawa penyakit menular, pendorong degradasi sosial kemasyarakatan, sehingga Jack merasa telah mendapatkan “izin membunuh” berdasarkan norma yang ada.
Dan Jack mengetahui bahwa apa yang dia lakukan akan mendapatkan perhatian serius, karena di sisi lain pelacur adalah “mainan” bagi sebagian masyarakat hipokrit era Victorian. Mereka yang bergaya perlente aristokratis, dengan parfum mahal, tapi tidak mau lagi membiayai mistressnya lalu mencari pelampiasan dengan pelacur yang menjadi korban revolusi Industri. Jack membawa pesan, jangan lagi kejam pada para wanit itu. Matikan saja, atau kalau perlu kau makan mereka, seraya memakan bagian tubuh Catherine Eddowes, salah satu korbannya.
Jika Jack melahirkan abad 20, abad para pembunuh yang mengilangkan nyawa sesamanya dengan belasan motif “remeh” melalui kekejaman dan kesadisan, maka siapa yang melahirkan abad 21?
Saya yakin William Gibson novelist Kanada yang melahirkannya. Dia Jack the ripper baru dengan metode paling canggih: noir.
Jack The Ripper hanya mencabik dan menghabisi nyawa. Sementara Gibson mengajarkan orang membunuh melalui pembunuhan karakter, sinisme, ambiguitas moral, dan bunuh diri sosial. Bunuh diri sosial, karena korbannya adalah identitas masyarakat, kemajemukan, dan akhirnya berakhir pada situasi keruntuhan moralitas lama di masyarakat.
Gibson menciptakan situasi “perang maya” cyber war. Tubuh orang boleh utuh. Tapi pemikirannya dibuat sempit, dibuat sakit, dibuat menjadi kerdil dan pembenci, melalui pemalsuan ribuan informasi yang diberikan berbarengan dengan informasi yang benar. Dan masyarakat kecanduan akan informasi itu. Selamat datang di abad 21.
Dan pada abadi ini, pembunuhan fisik adalah suatu cerita. Sedih sudah tentu, simpati mesti dilakukan, dukungan untuk mencari pembunuhnya sudah jelas, namun yang menjadi masalah para suporter ini ikut mencari, menangkap, dan mengadili “calon pembunuh” dengan persepsi mereka. Sehingga korban pembunuhannya ada dua. Yang pertama yang menjadi korban yang ditakdirkan mati. Yang kedua, yang menjadi korban yang ditakdirkan dibully.
Penulis yakin, Jika Jack The Ripper lahir di abad 21, alih alih bunuh orang, dia lebih baik jadi provokator sosial media. Lebih murah, efektif, dan efisen untuk menghabisi masyarakat dengan cara membunuh mentalitas mereka, menjadi masyarakat tukang fitnah, masyarakat paranoid, mudah curiga, dan akhirnya membesarkan anak-anak mereka dalam kondisi bagai tawanan perang. Tidak ada kebahagiaan di masyarakat, itu tujuan utama para pembunuh di sosial media.
Antara Wayan Mirna dan Jessica Kumala
Dengan tidak berupaya mencampuri penyelidikan polisi, penulis ikut membaca tragedi yang menimpa gadis muda bernama Wayan Mirna. Dia dibunuh dengan gaya pembunuhan abad 20, alat pembunuhnya racun sianida, medium pembunuhnya secangkir kopi, pembunuhan dilakukan di tempat elite, di tengah kerumuman orang banyak. Di bawah sorotan media CCTV. Polisi mengaku telah mencapai kemajuan untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan.
Namun, sudah jatuh korban bernama Wayan Mirna, jatuh korban lainnya bernama Jessica Kumala. Perbedaan dengan Wayan, Jessica dibunuh dengan teknik abad 21. Yakni dengan noir.
Anda bisa bayangkan. Andaikan Jessica Kumala lolos penyelidikan polisi, bahkan dalam tingkatan akhir bebas dalam kasasi Mahkamah Agung Jessica sudah kering dan habis namanya, di mana mati berkalang tanah lebih baik dibandingkan hidup dengan tatapan sinisime orang lain.
Siapa pembunuh Jessica? Sudah pasti media. Dan jika Jessica bukan pelakunya, maka ada dua korban “mati” di sini.
Jika Jessica benar yang melakukan pembunuhan itu maka dia bunuh diri. Dia tidak sadar bahwa pembunuh di abad 21 ini mati dua kali. Di era masa lalu taruhlah 10 tahun lalu, pembunuh masih bisa tobat, lalu di terima masyarakat, lantaran masyarakat tidak tahu siapa dia persisnya? apa asal-usulnya? Dengan mudah pembunuh masih bisa menjalankan hidup di kota lain. Membunuh di Padang, dia bisa hidup bahagia di Bandung. Membunuh di Menado, dia masih bisa beranak-pinak di Jakarta. Tragedi nya Robinson Crusoe, membunuh lalu mengasingkan diri, dan sukses.
Tapi di abad ini, membunuh orang, wajahmu akan jadi artis sosial media. Dihabisi dengan barisan dan kata-kata menghakimi. Wajahmu menjadi ribuan meme, dikenali, diawasi, dan tersebar hingga seluruh dunia. Kau membunuh di Jakarta, namamu dibahas di Gianyar Bali, di Sabang, di Palangkaraya, bahkan masuk Bleacher Report di Inggris. Mau sembunyi di mana?
Pikirkan ribuan kali jika ingin membunuh plek begitu saja di abad ini. Karena membunuh orang lain bagai masuk ke kamar siksa para NAZI. Kau disiksa pelan-pelan hingga gila dan depresi, dibenci orang kiri dan kanan, orang tua mu pun payah dalam membelamu, membuat mereka takut menghadapi diri mereka sendiri. Maka pikir ribuan kali jika ingin bunuh orang, selagi posisimu, keluargamu, di masyarakat adalah orang terhormat.
Karena masyarakat kita sudah menjadi noir itu sendiri. Sudah menjadi polisi, hakim, jaksa, dan kriminalnya sekaligus. Mereka nyaman dengan itu, dan bila ada yang bertanya apakah situasi ini sangat buruk? Bung, abad 21 baru mulai, masih ada sisa 80 tahun lagi menuju abad 22. Welcome dan enjoy the show.****Red