Sigit Priadi Pramudito bukanlah sosok Anda, Beliau bahkan tidak mengikuti jejak pendahulunya yang “nyeleb” di media massa, mengisi segala boks komentar dan isu isu terkini untuk sekedar selorohan atau anekdot “masih ada kabar di dunia pajak”. Sebagai pemimpin dinas pajak, jalan Sigit terlalu solitaire.. terlalu sunyi seperti jalan prajurit yang ditempatkan di garda sayap.
Sepi publikasi, dengan demikian dia bukan jagoan Anda yang melihat pekerjaan di kabinet pemerintahan presiden Joko Widodo adalah pekerjaan high profile yang penuh dengan sasaran citrawi, bisa dikritisi dan dikomentari oleh jagad sosial media. Walau diyakini, sosok bukan jagoan Anda ini bisa menjadi sosok yang Anda rindukan, di tengah pejabat pejabat yang “koppig” alias keras kepala menyatu sel sel tubuhnya dengan jabatannya, tidak mau lepas apapun yang terjadi.
Sigit tidak koppig, dia lepas jabatan saat dirinya merasa gagal bisa memenuhi target pajak pemerintahanan. Kurang 450 T dari target penerimaan 1294 T, di mana itupun hasil revisi target ambisius sebelumnya yang 1600 T.
Sejak 2008 terget pajak selalu meleset, ucap sang bos Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, barangkali mencoba menghibur, barangkali mencoba memberi kekuatan pada calon penerusnya yang saat ini dilimpahkan pada pejabat Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi.
Mundurnya Sigit adalah pelajaran besar bagi pemerintahan manapun, untuk tidak dan jangan sampai bermain-main dengan target dan angka-angka tanpa back up plan, tanpa memperhatikan kesiapan dan kesungguhan birokrasinya. Bagaimanapun pemerintah tidak bisa menyalahkan birokrasi pada mundurnya Sigit, karena Sigit notabene adalah hasil dari konstentansi ideal yang disyaratkan sang elite, yang dinamakan lelang jabatan.
Sigit perahan terbaik birokrasi di dinas pajak, tantangan Sigit adalah tantangan pemerintahan keseluruhan, kerja keras Sigit, dan kepayahannya, mesti dipikul sama sama oleh semua yang melihat birokrasi secara objektif. Dan mundurnya Sigit, bagaimana saya bisa mendudukannya, barangkali bagaikan mundurnya Divisi Penerjun Payung Inggris dari kota Eindhoven setelah bertahan selama 10 hari dalam kepungan tentara Jerman, justru dalam posisi di mana mereka bisa menang, pada saga Perang Dunia Kedua berjudul Operation Market Garden 1944.
Sang Jenderal, Roy E Urquhart, mundur karena “kurang back up plan,” dan semua Jenderal lain yang terlibat operasi tidak ada yang menyalahkannya, alih alih ikut merasakan kekurangan yang ada. Kurang imajinasi, kurang bahan kajian, sementara waktu sempit, kesempatan harus dikejar, jadilah Operation Market Garden, operasi yang tadinya ambisius ingin mengakhiri perang dunia sebelum 1945.
Begitupun Sigit, menerima tantangan Operation 1600 T yang direvisi menjadi operation 1294 T. Prajurit seperti dirinya hanya tinggal melaksanakan perintah dan acuan yang telah diberikan, serta rencana perang dan semangat baru. Dan perang orang orang pajak, bagai perang orang orang bersenjata, ada fakor x, ada faktor keberuntungan, ada faktor logistik. Kekalahan Sekutu di Eindhoven karena kurang logistik, juga dirasakan oleh DJP di bawah Sigit, karena konsentrasi fiskal justru ingin memenangkan investor dan meringankan beban pelemahan dunia.
Dan reaksi Sigit sudah tepat, sebagaimana jendral kawakan mesti bertindak. Jika saatnya mundur, maka jangan koppig demi kebanggaan semu, mundur. Itu pula yang dilakukan jenderal jenderal pemenang perang, saya bisa menyebutkan mayoritasnya pada Anda, tapi di sini kita bicara tentang perang yang masih berlangsung. Perang fiskal kita di tengah kesimpangsiuran target.
Jenderal lain maju, namanya Ken Dwijugiasteadi. Tugas Sigit dan kerjanya selesai dengan baik apapun daya kritis Anda pada hasilnya. Di DJP saat ini, bukan perang dengan orientasi hasil atau target, tapi perang untuk mengangkat dagu para prajurit. Semoga Ken bisa melakukannya dengan baik.***Red